Powered By Blogger

Senin, 17 Oktober 2011

Jalur Ekspedisi Cincin Api "Kompas"




1. Tambora
Gunung di Pulau Sumbawa, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, ini meletus pada April 1815 yang dikenal sebagai "The Largest Volcanic Eruption in History" (letusan terbesar yang tercatat dalam sejarah). Lebih dari 71.000 orang meninggal dan terjadi perubahan iklim, dan masa itu sering disebut juga tahun tanpa musim panas.

2. Toba, Sibayak, Sinabung, dan Tarutung (patahan gempa)
Gunung-gunung api dan sesar tektonik di Sumatera Utara. Gunung api super-Toba diperkirakan meletus 74.000 tahun yang lalu dan menghasilkan kaldera dan Danau Toba dengan Pulau Samosir di tengah-tengahnya. Letusan ini memicu gelombang tsunami.

3. Krakatau
Gunung api di Selat Sunda ini meletus dahsyat pada Agustus 1883. Lebih dari 36.000 orang meninggal dan letusan ini memicu gelombang tsunami.

4. Agung, Batur, dan Rinjani
Antara spiritualitas dan rasionalitas, mencari folklor lokal terkait gunung berapi. Di Bali dan Lombok, gunung menjadi pusat orientasi budaya dan agama. Bagaimana pengaruhnya terhadap mitigasi bencana?

5. Jawa Timur: Gunung Semeru, Penaggungan, Bromo, Ijen, dan Kelud
Berdampingan hidup dengan bencana. Kawah Ijen pada zaman dulu telah menjadi sumber belerang dan bahan amunisi. Sebaliknya, kini Kawah Ijen menyimpan bahaya besar. Bibir kawah yang menyimpan jutaan asam sulfat dikhawatirkan runtuh, dan kebocoran sebenarnya sudah terjadi, menyebabkan peracunan pada tanah pertanian.

Sementara itu, Bromo adalah pusat spiritual masyarakat Jawa, selain juga pusat pariwisata. Bagaimana masyarakat bisa berdampingan dengan bencana?

6. Jawa Tengah: Merapi, Merbabu, Lawu, Sindoro, Sumbing, Dieng
Pralaya dan pergeseran peradaban akibat letusan gunung api. Letusan Merapi diperkirakan menjadi penyebab bergesernya Mataram Kuno ke wilayah timur. Merapi juga menjadi contoh ujian nyata manajemen bencana modern dalam berhadapan dengan sikap budaya lokal yang sering kali bertabrakan.

7. Jawa Barat: Tangkuban Perahu, Salak, Papandayan, Galunggung
Berkah kesuburan tanah Parahyangan di balik ancaman bencana. Letusan Salak pernah berdampak besar terhadap Jakarta.

8. Kerinci, Dempo, Merapi, Sorik
Gunung para dewa dan konsepsi kisah orang pendek. Gunung Kerinci adalah juga gunung api tertinggi di Indonesia, yang memiliki keindahan, tetapi juga memiliki potensi bencana sangat besar.

9. Rokatenda, Egon, Lewo Tobi, tsunami di Ende dan Larantuka

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah contoh ekstrem kepulauan yang dibentuk oleh jajaran gunung berapi, yang berpengaruh terhadap keringnya geografi di daerah ini. Selain itu, tsunami juga berkali-kali menerjang. Bagaimana kearifan lokal masyarakat terhadap bencana ini?

10. Sangihe, Ambon, Ibu, Soputan
Hampir mirip dengan NTT, kepulauan Ambon (Ambonia) juga tersusun dari banyak gunung berapi aktif, sekaligus berada di area penghunjaman aktif yang sering terdampak gempa dan tsunami. Bahkan, catatan paling tua tentang tsunami di Indonesia terjadi di Ambon, dicatat oleh Rumphius.

11. Sesar darat: Liwa-Padang-Aceh dan Palu
Sesar darat Sumatera termasuk yang paling aktif di dunia. Sayangnya, hingga kini belum ada pemetaan bencana. Banyak jalur sesar yang diduga masih menjadi permukiman. Demikian juga di Palu, hal yang sama pun terjadi.

12. Mentawai, Nias, Simeulue
Pulau-pulau di batas benua. Ketiga pulau ini berada di titik terluar garis benua, yang paling sering dilanda gempa besar dan berpotensi besar tsunami sepanjang sejarah. Masyarakat di sana memiliki kearifan lokal dan budaya yang sangat terkait dengan gempa dan tsunami, tetapi kini banyak yang telah hilang.
Sumber: Litbang Kompas, diolah dari Bakosurtanal, Lapan, ESDM, PVMBG, Gis: Rustiono

Selasa, 04 Oktober 2011

Profil Kota Ambon




Bagai dupa raksasa yang menyebarkan wewangian nan menyengat indera penciuman, itulah Kepulauan Maluku. Gugusan pulau tempat berburu cengkeh dan pala yang menyerupai surga rempah-rempah dunia ini, telah mengundang banyak orang dari berbagai belahan bumi untuk berbondong-bondong datang ke sana. Dulu, tempat ini menjadi persinggahan penting dan tujuan perdagangan antarbangsa.
Kota Ambon hanyalah sebagian kecil dari wilayah Maluku. Kota Ambon ini terletak di Pulau Ambon, satu diantara 1.027 pulau besar dan kecil yang bertebaran di daerah yang terkenal dengan julukan Seribu Pulau.
Para pedagang Arab, Persia, India, Malaka, dan Cina, hilir mudik datang mengunjungi. Bahkan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda berhasrat memiliki. Tapi itu dulu, sekitar abad ke-15 hingga abad ke-20 ketika cengceh dan pala tumbuh dengan suburnya.
Kini cerita itu tinggal tinggal kenangan. Kisah melimpah ruahnya rempah-rempah yang kemudian justru menyebabkan terkurasnya kekayaan alam dan kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa yang dilakukan oleh jaringan niaga VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda di masa itu, telah berlalu. Ambon dan Maluku pada umumnya, kini tak lagi identik dengan pusat perdagangan rempah, bumbu pemberi rasa dan bau khas pada makanan.
Perekonomian Ambon yang awalnya berorientasi pada perdagangan, telah mengalami perubahan. Tepatnya sejak tahun 1998, saat munculnya kerusuhan di wilayah ini, kegiatan ekonomi Ambon didominasi oleh sektor pertanian. Di tahun itu perdagangan hanya menjadi contributor kedua dengan sumbangan 21,38 persen PDRB. Parahnya selama dua tahun kemudian (tahun 1999 dan 2000), posisinya makin turun hingga berada di peringkat ketiga dari total PDRB.
Bagi Ambon, dominasi sektor pertanian di tahun 1998-1999 ternyata tak memberi angin segar untuk perekonomian. Primadona hasil pertanian yang biasanya disandang oleh tanaman bahan pangan seperti beras, tak mampu dipersembahkan oleh tanah Ambon. Bahkan kontribusinya dapat dikatakan nol. Kondisi topografi atau permukaan tanah yang umunya sama di Kepulauan Maluku, bergelombang dan berbentuk dari batu karang dan kapur, tak memungkinkan bagii tumbuhnya tanaman padi-padian.
Meski hampir setengah dari total lahan kering yang ada, yaitu 154,6 km² digunakan untuk bercocok tanam, tanah di wilayah ini hanya mampu memproduksi tanaman palawija seperti ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan jagung serta tanaman holtikultura, yaitu sayuran dan buah-buahan. Hasilnya pun masih jauh dari memuaskan. Dengan luas lahan 375 hektar diperoleh sebanyak 2.181 ton ubi kayu di tahun 2000. Jumlah ini  adalah yang tertinggi di antara hasil bumi lainnya. Oleh sebab itu Ambon sulit mengandalkan tanahnya untuk menambah pemasukan daerah.
Akan tetapi, kota ini masih bisa menggantungkan harapannya dari potensi perairan yang ada. Hasil tangkapannya memang masih berfluktuasi cukup mencolok dari tahun ke tahun, namun tetap harus dilirik sebagai komoditas yang menjanjikan. Seperti hasil ikan cakalang, tahun 1999 Ambon mampu memperoleh uang senilai Rp 65,1 milyar (jumlah itu setara dengan 28.582 ton ikan). Namun sayang, setahun kemudian hasil tangkapannya menurun drastis hingga kira-kira menjadi seperlimanya, 5.904 ton. Padahal, peluang ekspor khususnya tataki, yaitu ikan cakalang segar yang dibekukan pada suhu hingga 50ยบ C di bawah nol, cukup menjanjikan. Menurut catatan, dari produksi tahun 1999 Kota Ambon baru mampu memasok 0,5 persen permintaan pasar Jepang.
Meski perolehan ikan cakalang tak memuaskan di tahun 2000, Ambon cukup terhibur dengan perolehan udang yang nilainya mencapai Rp 196,9 milyar atau 88,12 persen dari total hasil perikanan.
Hancurnya perdagangan Kota Ambon ternyata jug tak mampu ditutup oleh seckor jasa. Berbagai obyek wisata yang mestinya berpotensi menggairahkan kegiatan ekonomi Ambon, ikut mengalami keterpurukan akibat gejolak sosial yang berkepanjangan.
Hilangnya rasa aman dan nyaman akibat kerusuhan di daerah ini, memaksa Ambon sejenak dihindari para pelancong yang ingin datang dan membelanjakan uangnya disana. Selam pecahnya kerusuhan, tak tercatat adanya pengunjung yang datang. Padahal, banyak obyek yang sanagt menarik seperti plantain, taman laut, meseum sejarah, dan dusun wisata yang seluruhnya ada di 31 lokasi. Daerah-daerah wisata yang tersebar di tiga kecamatannya, yaitu Nusaiwe, Sirimau, dan Teluk Ambon Baguala itu berpeluang menjaring banyak pemasukan.
Di Kecamatan Nusaiwe, tepatnya di Desa Latuhalat, terdapat suatu daerah yang menarik dikunjungi, yaitu Pantai Namalatu. Laut Banda ini akan mengundang siapa saja yang hadir di sana untuk menerangi dan menyelaminya. Dasar lautnya menyajikan kekayaan alam yang jarang ditemui di tempat lain.
Lokasi-lokasi wisata seperti itu, jika kembali diberdayakan, akan mendukung pemulihan perekonomian Ambon. Pemasukan daerah serta pendapatan per kapita masyarakat Ambon yang mencapai Rp 2,5 juta di tahun 2000 pun akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Dan “Ambon Manise” seperti yang dibanggakan selama ini akan benar-benar terbukti manise.  
    

Profil Kota Bekasi




Di Bekasi, lupakan Bantargebang yang bermasalah sebagai TPA sampah warga DKI Jakarta. Jangan pikirkan kesemrawutan lalulintas dan kemacetan yang terjadi setiap hari. Tak usah juga mengingat begitu padatnya lahan parumahan dan pertokoan. Sebagian besar warga Bekasi bahkan penduduk Jakarta sudah mahfum dan memakluminya. Lantas, trademark apalagi yang bisa dilekatkan pada Kota Bekasi? Karena yang timbul diingatan akhirnya memang masalah-masalah tersebut.   
Padahal, Bantargebang dibilang menjadi urat nadi perekonomian kota yang menjadi tetangga dekat ibu kota Jakarta ini. Usianya sebagai kota otonom memang belum lama, baru sembilan tahun pada 10 Maret 2002. Masih terhitung balita jika dianalogikan dengan umur manusia. Sebelumnya, Kota Bekasi berstatus sebagai Kecamatan Bekasi yang kemudian menjadi kota administratif (Kotif) tahun 1982 di bawah Kabupaten Bekasi.
Perkembangan Kota Bekasi sudah terlihat sewaktu masih berstatus sebagai kecamatan dan kota administratif. Jumlah penduduk Bekasi kian membengkak karena migrasi penduduk dari luar. Misalnya pada tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi yang 5,18 persen, sebanyak 3,68 persennya adalah laju pertumbuhan penduduk migrasi. Sayangnya, penyebaran penduduk tidak merata di seluruh wilayah.            
Lahan pemukiman di wilayah seluas 21.049 hektar ini terkonsentrasi di beberapa kecamatan bekas kotif seperti Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Timur. Di kecamatan-kecamatan tersebut hampir tidak tersedia lagi lahan kosong. Total tanah di Bekasi yang sudah terbangun seluas 10.773 hektar dengan 90 persennya berupa pemukiman. Sisanya unutk industi dan perdagangan dan jasa masing-masing empat dan tiga persen. Lahan untuk pendidikan dan pemerintahan dan bangunan umum masing-masing dua dan satu persen.
Dan kecamatan Bantargebang dilupakan sebagai pusat industri di wilayah ini. Selama ini Kota Bekasi memang lebih menonjol dengan sektor properti khususnya perumahan. Sampai sekarang pun jika mendengar Bantargebang maka yang langsung teringat adalah TPA-nya. Padahal, sebagai kota otonom yang kegiatan ekonominya ditunjang secara dominan oleh industri pengolahan, seharusnya wilayah pusat industrinya dikenal orang. Jumlah industri di Kota Bekasi hingga tahun 2000 sebanyak 228 perusahaan besar dan sedang, 81 unit di antaranya terdapat di Kecamatan Bantargebang. Secara keseluruhan jenis industri yang ada di Bekasi mayoritas adalah industri tekstil dan pembuatan barang-barang dari logam besi.
Sebenarnya dalam hal industri, Kota Bekasi kalah pamor dengan Kabupaten Bekasi. Karena itu, orang lebih mengenal Kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri dan Kota Bekasi sebagai kawasan perumahan. Para pekerja asal Jakarta yang ingin menuju tempat kerjanya di Kabupaten Bekasi dan sebaliknya tentu harus melalui Kota Bekasi lebih dulu. Itulah salah satu penyebab mengapa Kota Bekasi menjadi wilayah super sibuk. Tak lain untuk melayani warga baik dari daerah ini sendiri maupun dari wilayah-wilayah yang mengelilinginya seperti DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi yang ingin mengakses jalurnya.
Gejala ini, selain juga karena semakin meningkatnya jumlah penduduk, secara jeli dilirik oleh pengusaha sektor properti. Maka pembangunan lokasi perumahan pun marak dilakukan sejak tahun 80-an. Jauh sebelum Kota Bekasi menjadi kota otonom. Bahkan pada awal tahun 90-an pun, gejala akan semakin padatnya Bekasi sudah terlihat dengan kian berkurangnya lahan pertanian dan perkebunan. Investor asing yang ingin menananmkan modalnya hanya tertarik di bidang peruamahan atau industri. Tak ada yang melirik pertanian atau perkebunan.
Sayangnya, menjamurnya pemukiman di Kota Bekasi tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur jalan yang memadai. Hampir setiap hari jalan-jalan di Bekasi khususnya dari dan menuju pintu tol Bekasi Barat dan Bekasi Timur, padat dan terhambat. Di beberapa jalan seperti Jl. A.Yani misalnya rasio kemacetan mencapai 0,89 persen artinya kendaraan yang melaju dengan kecepatan di bawah 40 km per jam. Masalahnya klasik pun dituding sebagai penyebabnya. Ruas jalan yang tersedia tidak seimbang dengan mobilitas kendaraan yang melintas.
Arus lalulintas dari dan ke Kota Bekasi hanya dilayani satu terminal angkutan umum. Kondisinya pun tidak terawatt, jorok, banyak kubangan jika hujan, onggokan sampah, selain masalah keamanan yang rawan, namun sekarang terminal angkutan tersebut sudah direnovasi dan berfungsi secara optimal yang memberikan kesan sebagaimana layaknya terminal. Namun, tidak terlepas dari itu masih banyaknya bermunculan terminal-terminal bayangan di sepanjang jalan.
Upaya Pemda Kota Bekasi untuk mengatasi kesemrawutan lalulintas terlihat dengan adanya beberapa ruas jalan yang dilebarkan seperti Jl. Cut Nyak Dien, Jl. Chairil Anwar dan Jl. Ngurah Rai. Ada yang sudah pembanguna fisik maupun seputar pembebasan lahan. Ada pula rencana pembangunan terminal baru bertipe A ayng menampung bus-bus Antar Kota Anta Provinsi (AKAP). Selama ini terminal bus Pasar Baru di Bekasi hanya menyediakan bus-bus Antar Kota Dalam Provinsi. Dalam rancangan APBD Kota Bekasi tahun 2002, anggran belanja bidang transportasi menempati peringkat pertama sekitar 27 persen dari total belanja pembangunan yang dianggarkan sebesar Rp 195,5 milyar.
Namun, untuk melebarkan jalan masih ada kendala yang dirasakan Pemda Kota Bekasi. Tak lain karena wilayah ini terlanjur terkepung baik oleh bangunan maupun geografisnya berupa kali atau sungai. Jalan keluarnya adalan dengan pembangunan jalan flyover atau jembatan. Kembali ke trademark, jika transportasi sudah teratasi maka apa lagi kenangan Kota Bekasi. Masih ada,. Cuaca terik menyengat di siang hari akibat semakin berkurangnya taman kota.