Powered By Blogger

Selasa, 04 Oktober 2011

Profil Kota Bekasi




Di Bekasi, lupakan Bantargebang yang bermasalah sebagai TPA sampah warga DKI Jakarta. Jangan pikirkan kesemrawutan lalulintas dan kemacetan yang terjadi setiap hari. Tak usah juga mengingat begitu padatnya lahan parumahan dan pertokoan. Sebagian besar warga Bekasi bahkan penduduk Jakarta sudah mahfum dan memakluminya. Lantas, trademark apalagi yang bisa dilekatkan pada Kota Bekasi? Karena yang timbul diingatan akhirnya memang masalah-masalah tersebut.   
Padahal, Bantargebang dibilang menjadi urat nadi perekonomian kota yang menjadi tetangga dekat ibu kota Jakarta ini. Usianya sebagai kota otonom memang belum lama, baru sembilan tahun pada 10 Maret 2002. Masih terhitung balita jika dianalogikan dengan umur manusia. Sebelumnya, Kota Bekasi berstatus sebagai Kecamatan Bekasi yang kemudian menjadi kota administratif (Kotif) tahun 1982 di bawah Kabupaten Bekasi.
Perkembangan Kota Bekasi sudah terlihat sewaktu masih berstatus sebagai kecamatan dan kota administratif. Jumlah penduduk Bekasi kian membengkak karena migrasi penduduk dari luar. Misalnya pada tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi yang 5,18 persen, sebanyak 3,68 persennya adalah laju pertumbuhan penduduk migrasi. Sayangnya, penyebaran penduduk tidak merata di seluruh wilayah.            
Lahan pemukiman di wilayah seluas 21.049 hektar ini terkonsentrasi di beberapa kecamatan bekas kotif seperti Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Timur. Di kecamatan-kecamatan tersebut hampir tidak tersedia lagi lahan kosong. Total tanah di Bekasi yang sudah terbangun seluas 10.773 hektar dengan 90 persennya berupa pemukiman. Sisanya unutk industi dan perdagangan dan jasa masing-masing empat dan tiga persen. Lahan untuk pendidikan dan pemerintahan dan bangunan umum masing-masing dua dan satu persen.
Dan kecamatan Bantargebang dilupakan sebagai pusat industri di wilayah ini. Selama ini Kota Bekasi memang lebih menonjol dengan sektor properti khususnya perumahan. Sampai sekarang pun jika mendengar Bantargebang maka yang langsung teringat adalah TPA-nya. Padahal, sebagai kota otonom yang kegiatan ekonominya ditunjang secara dominan oleh industri pengolahan, seharusnya wilayah pusat industrinya dikenal orang. Jumlah industri di Kota Bekasi hingga tahun 2000 sebanyak 228 perusahaan besar dan sedang, 81 unit di antaranya terdapat di Kecamatan Bantargebang. Secara keseluruhan jenis industri yang ada di Bekasi mayoritas adalah industri tekstil dan pembuatan barang-barang dari logam besi.
Sebenarnya dalam hal industri, Kota Bekasi kalah pamor dengan Kabupaten Bekasi. Karena itu, orang lebih mengenal Kabupaten Bekasi sebagai kawasan industri dan Kota Bekasi sebagai kawasan perumahan. Para pekerja asal Jakarta yang ingin menuju tempat kerjanya di Kabupaten Bekasi dan sebaliknya tentu harus melalui Kota Bekasi lebih dulu. Itulah salah satu penyebab mengapa Kota Bekasi menjadi wilayah super sibuk. Tak lain untuk melayani warga baik dari daerah ini sendiri maupun dari wilayah-wilayah yang mengelilinginya seperti DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi yang ingin mengakses jalurnya.
Gejala ini, selain juga karena semakin meningkatnya jumlah penduduk, secara jeli dilirik oleh pengusaha sektor properti. Maka pembangunan lokasi perumahan pun marak dilakukan sejak tahun 80-an. Jauh sebelum Kota Bekasi menjadi kota otonom. Bahkan pada awal tahun 90-an pun, gejala akan semakin padatnya Bekasi sudah terlihat dengan kian berkurangnya lahan pertanian dan perkebunan. Investor asing yang ingin menananmkan modalnya hanya tertarik di bidang peruamahan atau industri. Tak ada yang melirik pertanian atau perkebunan.
Sayangnya, menjamurnya pemukiman di Kota Bekasi tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur jalan yang memadai. Hampir setiap hari jalan-jalan di Bekasi khususnya dari dan menuju pintu tol Bekasi Barat dan Bekasi Timur, padat dan terhambat. Di beberapa jalan seperti Jl. A.Yani misalnya rasio kemacetan mencapai 0,89 persen artinya kendaraan yang melaju dengan kecepatan di bawah 40 km per jam. Masalahnya klasik pun dituding sebagai penyebabnya. Ruas jalan yang tersedia tidak seimbang dengan mobilitas kendaraan yang melintas.
Arus lalulintas dari dan ke Kota Bekasi hanya dilayani satu terminal angkutan umum. Kondisinya pun tidak terawatt, jorok, banyak kubangan jika hujan, onggokan sampah, selain masalah keamanan yang rawan, namun sekarang terminal angkutan tersebut sudah direnovasi dan berfungsi secara optimal yang memberikan kesan sebagaimana layaknya terminal. Namun, tidak terlepas dari itu masih banyaknya bermunculan terminal-terminal bayangan di sepanjang jalan.
Upaya Pemda Kota Bekasi untuk mengatasi kesemrawutan lalulintas terlihat dengan adanya beberapa ruas jalan yang dilebarkan seperti Jl. Cut Nyak Dien, Jl. Chairil Anwar dan Jl. Ngurah Rai. Ada yang sudah pembanguna fisik maupun seputar pembebasan lahan. Ada pula rencana pembangunan terminal baru bertipe A ayng menampung bus-bus Antar Kota Anta Provinsi (AKAP). Selama ini terminal bus Pasar Baru di Bekasi hanya menyediakan bus-bus Antar Kota Dalam Provinsi. Dalam rancangan APBD Kota Bekasi tahun 2002, anggran belanja bidang transportasi menempati peringkat pertama sekitar 27 persen dari total belanja pembangunan yang dianggarkan sebesar Rp 195,5 milyar.
Namun, untuk melebarkan jalan masih ada kendala yang dirasakan Pemda Kota Bekasi. Tak lain karena wilayah ini terlanjur terkepung baik oleh bangunan maupun geografisnya berupa kali atau sungai. Jalan keluarnya adalan dengan pembangunan jalan flyover atau jembatan. Kembali ke trademark, jika transportasi sudah teratasi maka apa lagi kenangan Kota Bekasi. Masih ada,. Cuaca terik menyengat di siang hari akibat semakin berkurangnya taman kota.            

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar