Di Bekasi, lupakan Bantargebang yang bermasalah sebagai
TPA sampah warga DKI Jakarta. Jangan pikirkan kesemrawutan lalulintas dan
kemacetan yang terjadi setiap hari. Tak usah juga mengingat begitu padatnya
lahan parumahan dan pertokoan. Sebagian besar warga Bekasi bahkan penduduk
Jakarta sudah mahfum dan memakluminya. Lantas, trademark apalagi yang bisa dilekatkan pada Kota Bekasi? Karena
yang timbul diingatan akhirnya memang masalah-masalah tersebut.
Padahal, Bantargebang dibilang menjadi urat nadi perekonomian
kota yang menjadi tetangga dekat ibu kota Jakarta ini. Usianya sebagai kota
otonom memang belum lama, baru sembilan tahun pada 10 Maret 2002. Masih
terhitung balita jika dianalogikan dengan umur manusia. Sebelumnya, Kota Bekasi
berstatus sebagai Kecamatan Bekasi yang kemudian menjadi kota administratif
(Kotif) tahun 1982 di bawah Kabupaten Bekasi.
Perkembangan Kota Bekasi sudah terlihat sewaktu masih
berstatus sebagai kecamatan dan kota administratif. Jumlah penduduk Bekasi kian
membengkak karena migrasi penduduk dari luar. Misalnya pada tahun 2000, laju
pertumbuhan penduduk Kota Bekasi yang 5,18 persen, sebanyak 3,68 persennya
adalah laju pertumbuhan penduduk migrasi. Sayangnya, penyebaran penduduk tidak
merata di seluruh wilayah.
Lahan pemukiman di wilayah seluas 21.049 hektar ini
terkonsentrasi di beberapa kecamatan bekas kotif seperti Bekasi Utara, Bekasi
Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Timur. Di kecamatan-kecamatan tersebut hampir
tidak tersedia lagi lahan kosong. Total tanah di Bekasi yang sudah terbangun
seluas 10.773 hektar dengan 90 persennya berupa pemukiman. Sisanya unutk industi
dan perdagangan dan jasa masing-masing empat dan tiga persen. Lahan untuk pendidikan
dan pemerintahan dan bangunan umum masing-masing dua dan satu persen.
Dan kecamatan Bantargebang dilupakan sebagai pusat
industri di wilayah ini. Selama ini Kota Bekasi memang lebih menonjol dengan sektor
properti khususnya perumahan. Sampai sekarang pun jika mendengar Bantargebang
maka yang langsung teringat adalah TPA-nya. Padahal, sebagai kota otonom yang
kegiatan ekonominya ditunjang secara dominan oleh industri pengolahan,
seharusnya wilayah pusat industrinya dikenal orang. Jumlah industri di Kota
Bekasi hingga tahun 2000 sebanyak 228 perusahaan besar dan sedang, 81 unit di
antaranya terdapat di Kecamatan Bantargebang. Secara keseluruhan jenis industri
yang ada di Bekasi mayoritas adalah industri tekstil dan pembuatan
barang-barang dari logam besi.
Sebenarnya dalam hal industri, Kota Bekasi kalah pamor
dengan Kabupaten Bekasi. Karena itu, orang lebih mengenal Kabupaten Bekasi
sebagai kawasan industri dan Kota Bekasi sebagai kawasan perumahan. Para
pekerja asal Jakarta yang ingin menuju tempat kerjanya di Kabupaten Bekasi dan
sebaliknya tentu harus melalui Kota Bekasi lebih dulu. Itulah salah satu
penyebab mengapa Kota Bekasi menjadi wilayah super sibuk. Tak lain untuk
melayani warga baik dari daerah ini sendiri maupun dari wilayah-wilayah yang
mengelilinginya seperti DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi yang
ingin mengakses jalurnya.
Gejala ini, selain juga karena semakin meningkatnya
jumlah penduduk, secara jeli dilirik oleh pengusaha sektor properti. Maka
pembangunan lokasi perumahan pun marak dilakukan sejak tahun 80-an. Jauh
sebelum Kota Bekasi menjadi kota otonom. Bahkan pada awal tahun 90-an pun,
gejala akan semakin padatnya Bekasi sudah terlihat dengan kian berkurangnya
lahan pertanian dan perkebunan. Investor asing yang ingin menananmkan modalnya
hanya tertarik di bidang peruamahan atau industri. Tak ada yang melirik
pertanian atau perkebunan.
Sayangnya, menjamurnya pemukiman di Kota Bekasi tidak
diimbangi dengan penyediaan infrastruktur jalan yang memadai. Hampir setiap
hari jalan-jalan di Bekasi khususnya dari dan menuju pintu tol Bekasi Barat dan
Bekasi Timur, padat dan terhambat. Di beberapa jalan seperti Jl. A.Yani
misalnya rasio kemacetan mencapai 0,89 persen artinya kendaraan yang melaju
dengan kecepatan di bawah 40 km per jam. Masalahnya klasik pun dituding sebagai
penyebabnya. Ruas jalan yang tersedia tidak seimbang dengan mobilitas kendaraan
yang melintas.
Arus lalulintas dari dan ke Kota Bekasi hanya dilayani
satu terminal angkutan umum. Kondisinya pun tidak terawatt, jorok, banyak
kubangan jika hujan, onggokan sampah, selain masalah keamanan yang rawan, namun
sekarang terminal angkutan tersebut sudah direnovasi dan berfungsi secara
optimal yang memberikan kesan sebagaimana layaknya terminal. Namun, tidak
terlepas dari itu masih banyaknya bermunculan terminal-terminal bayangan di
sepanjang jalan.
Upaya Pemda Kota Bekasi untuk mengatasi kesemrawutan
lalulintas terlihat dengan adanya beberapa ruas jalan yang dilebarkan seperti
Jl. Cut Nyak Dien, Jl. Chairil Anwar dan Jl. Ngurah Rai. Ada yang sudah
pembanguna fisik maupun seputar pembebasan lahan. Ada pula rencana pembangunan
terminal baru bertipe A ayng menampung bus-bus Antar Kota Anta Provinsi (AKAP).
Selama ini terminal bus Pasar Baru di Bekasi hanya menyediakan bus-bus Antar
Kota Dalam Provinsi. Dalam rancangan APBD Kota Bekasi tahun 2002, anggran belanja
bidang transportasi menempati peringkat pertama sekitar 27 persen dari total
belanja pembangunan yang dianggarkan sebesar Rp 195,5 milyar.
Namun, untuk melebarkan jalan masih ada kendala yang
dirasakan Pemda Kota Bekasi. Tak lain karena wilayah ini terlanjur terkepung
baik oleh bangunan maupun geografisnya berupa kali atau sungai. Jalan keluarnya
adalan dengan pembangunan jalan flyover atau
jembatan. Kembali ke trademark, jika
transportasi sudah teratasi maka apa lagi kenangan Kota Bekasi. Masih ada,.
Cuaca terik menyengat di siang hari akibat semakin berkurangnya taman kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar