Bagai dupa raksasa yang menyebarkan wewangian nan
menyengat indera penciuman, itulah Kepulauan Maluku. Gugusan pulau tempat
berburu cengkeh dan pala yang menyerupai surga rempah-rempah dunia ini, telah
mengundang banyak orang dari berbagai belahan bumi untuk berbondong-bondong datang
ke sana. Dulu, tempat ini menjadi persinggahan penting dan tujuan perdagangan
antarbangsa.
Kota Ambon hanyalah sebagian kecil dari wilayah Maluku.
Kota Ambon ini terletak di Pulau Ambon, satu diantara 1.027 pulau besar dan
kecil yang bertebaran di daerah yang terkenal dengan julukan Seribu Pulau.
Para pedagang Arab, Persia, India, Malaka, dan Cina,
hilir mudik datang mengunjungi. Bahkan bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda
berhasrat memiliki. Tapi itu dulu, sekitar abad ke-15 hingga abad ke-20 ketika
cengceh dan pala tumbuh dengan suburnya.
Kini cerita itu tinggal tinggal kenangan. Kisah melimpah
ruahnya rempah-rempah yang kemudian justru menyebabkan terkurasnya kekayaan
alam dan kesengsaraan rakyat akibat tanam paksa yang dilakukan oleh jaringan niaga
VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Belanda di masa itu, telah berlalu. Ambon
dan Maluku pada umumnya, kini tak lagi identik dengan pusat perdagangan rempah,
bumbu pemberi rasa dan bau khas pada makanan.
Perekonomian Ambon yang awalnya berorientasi pada
perdagangan, telah mengalami perubahan. Tepatnya sejak tahun 1998, saat
munculnya kerusuhan di wilayah ini, kegiatan ekonomi Ambon didominasi oleh sektor
pertanian. Di tahun itu perdagangan hanya menjadi contributor kedua dengan
sumbangan 21,38 persen PDRB. Parahnya selama dua tahun kemudian (tahun 1999 dan
2000), posisinya makin turun hingga berada di peringkat ketiga dari total PDRB.
Bagi Ambon, dominasi sektor pertanian di tahun 1998-1999
ternyata tak memberi angin segar untuk perekonomian. Primadona hasil pertanian yang biasanya disandang oleh
tanaman bahan pangan seperti beras, tak mampu dipersembahkan oleh tanah Ambon.
Bahkan kontribusinya dapat dikatakan nol. Kondisi topografi atau permukaan
tanah yang umunya sama di Kepulauan Maluku, bergelombang dan berbentuk dari
batu karang dan kapur, tak memungkinkan bagii tumbuhnya tanaman padi-padian.
Meski hampir setengah dari total lahan kering yang ada,
yaitu 154,6 km² digunakan untuk bercocok tanam, tanah di wilayah ini hanya
mampu memproduksi tanaman palawija seperti ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah,
dan jagung serta tanaman holtikultura, yaitu sayuran dan buah-buahan. Hasilnya
pun masih jauh dari memuaskan. Dengan luas lahan 375 hektar diperoleh sebanyak
2.181 ton ubi kayu di tahun 2000. Jumlah ini adalah yang tertinggi di antara hasil bumi
lainnya. Oleh sebab itu Ambon sulit mengandalkan tanahnya untuk menambah
pemasukan daerah.
Akan tetapi, kota ini masih bisa menggantungkan
harapannya dari potensi perairan yang ada. Hasil tangkapannya memang masih
berfluktuasi cukup mencolok dari tahun ke tahun, namun tetap harus dilirik
sebagai komoditas yang menjanjikan. Seperti hasil ikan cakalang, tahun 1999
Ambon mampu memperoleh uang senilai Rp 65,1 milyar (jumlah itu setara dengan
28.582 ton ikan). Namun sayang, setahun kemudian hasil tangkapannya menurun drastis
hingga kira-kira menjadi seperlimanya, 5.904 ton. Padahal, peluang ekspor
khususnya tataki, yaitu ikan cakalang segar yang dibekukan pada suhu hingga 50ยบ
C di bawah nol, cukup menjanjikan. Menurut catatan, dari produksi tahun 1999
Kota Ambon baru mampu memasok 0,5 persen permintaan pasar Jepang.
Meski perolehan ikan cakalang tak memuaskan di tahun
2000, Ambon cukup terhibur dengan perolehan udang yang nilainya mencapai Rp
196,9 milyar atau 88,12 persen dari total hasil perikanan.
Hancurnya perdagangan Kota Ambon ternyata jug tak mampu
ditutup oleh seckor jasa. Berbagai obyek wisata yang mestinya berpotensi
menggairahkan kegiatan ekonomi Ambon, ikut mengalami keterpurukan akibat
gejolak sosial yang berkepanjangan.
Hilangnya rasa aman dan nyaman akibat kerusuhan di daerah
ini, memaksa Ambon sejenak dihindari para pelancong yang ingin datang dan
membelanjakan uangnya disana. Selam pecahnya kerusuhan, tak tercatat adanya
pengunjung yang datang. Padahal, banyak obyek yang sanagt menarik seperti plantain,
taman laut, meseum sejarah, dan dusun wisata yang seluruhnya ada di 31 lokasi. Daerah-daerah
wisata yang tersebar di tiga kecamatannya, yaitu Nusaiwe, Sirimau, dan Teluk
Ambon Baguala itu berpeluang menjaring banyak pemasukan.
Di Kecamatan Nusaiwe, tepatnya di Desa Latuhalat,
terdapat suatu daerah yang menarik dikunjungi, yaitu Pantai Namalatu. Laut Banda
ini akan mengundang siapa saja yang hadir di sana untuk menerangi dan
menyelaminya. Dasar lautnya menyajikan kekayaan alam yang jarang ditemui di
tempat lain.
Lokasi-lokasi wisata seperti itu, jika kembali
diberdayakan, akan mendukung pemulihan perekonomian Ambon. Pemasukan daerah
serta pendapatan per kapita masyarakat Ambon yang mencapai Rp 2,5 juta di tahun
2000 pun akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Dan “Ambon Manise” seperti
yang dibanggakan selama ini akan benar-benar terbukti manise.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar